Giri Menang (Ekbis NTB) – Berdasarkan data Dinas Pertanian Lombok Barat, luas lahan yang terpakai untuk pembangunan perumahan maupun infrastruktur publik lainnya mencapai rata-rata 120 hektar lebih. Angka ini meningkat berkali-kali lipat dibanding beberapa tahun sebelumnya yang berkisar antara 20-30 hektar per tahun.
Tingginya alih fungsi lahan ini pun berupaya dikendalikan oleh Pemkab setempat melalui OPD terkait. Diantaranya dengan menggejot aturan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Selain itu, OPD selektif memberikan kajian dalam penerbitan rekomendasi penggunaan lahan untuk pembangunan perumahan. Kepala Distan Lobar Damayanti Widyaningrum mengatakan, luas lahan sawah di Lobar mencapai 14.560 hektar.
Dari luas lahan itu, selama tiga tahun terakhir (2021-2023) dialih fungsikan mencapai rata-rata 120 Hektar tiap tahun, “itu terdiri dari semua jenis lahan, irigasi pertanian dan kebun,”jelas Damayanti, akhir pekan kemarin. Dirinci dari tahun 2023 ada 120 hektar lebih, tahun 2022 seluas 156 hektar dan 2021 yang dialih fungsikan seluas 187 hektar.
Diakuinya, faktor posisi Lobar yang strategis karena dekat dengan kota Mataram menyebabkan lahan-lahan pertanian terutama yang produktif banyak yang terpakai untuk pembangunan. “Karena kita dekat dengan kota Mataram, jadinya lahan Lobar itu banyak sekali menjadi primadona (Untuk pembangunan perumahan),” terangnya.
Dimana Lobar masuk sebagai tunggal kendali Mataram metro sehingga banyak sekali pengusaha developer ingin membangun perumahan di wilayah Lobar terutama yang berada di perbatasan dengan Kota Mataram. Hal ini pun sulit dielakkan, karena masyarakat juga berhak mendapatkan sandang, pangan dan papan terkait Perumahan. “Disatu sisi harus disiapkan perumahan dan satu sisi juga siapkan ketahanan pangan,” ujarnya.
Untuk menyikapi dan mengantisipasi makin tergerusnya lahan produktif tersebut. Pihaknya saat ini sedang menyusun aturan Perbup LP2B. Kaitan dengan itu, pihaknya sudah berkoordinasi dengan dinas PU. Sejauh ini sudah ada titik-titik yang akan dijadikan LSD yang berkisar 10 ribu hektar. Nantinya lahan yang masuk LSD ini tidak boleh diutak-atik. Lahan pertanian ini akan dibagi zonasinya. Zona yang bisa dibangun perumahan, zona warning harus ada syarat-syarat tertentu untuk dibangun dan ada zona tidak boleh sama sekali dibangun perumahan.
“Sementara hal tersebut (aturan) belum jadi, kami betul-betul selektif untuk menentukan apakah boleh untuk dibangun perumahan,” jelasnya. Sejauh ini sudah banyak yang masuk permohonan untuk membuat kajian sebagai dasar rekomendasi boleh tidak dibangun. Namun pihaknya melihat dulu secara selektif. Kalau lahannya sudah terhimpit perumahan, maka itu jadi pertimbangan untuk dilepas. “Tapi kalau masih dalam bentuk hamparan luas, tunggu dulu, kami selektif,” tegasnya.
Titik lahan inipun sudah dipetakan, dan itu sudah diserahkan ke Dinas PUTR. Dimana tiap kecamatan ada yang dijadikan lahan pertanian berkelanjutan dan untuk pembangunan perumahan. Data inilah lanjut dia yalang belum selesai dibahas dengan PU, sehingga itu yang digenjot diselesaikan hingga dihasilkan dalam bentuk Perbup. Lebih lanjut dijelaskan, dalam proses penertiban izin itu sendiri masing-masing OPD diminta kajian untuk diberikan ke TKPRD. Dinas pertanian dari sisi lanan, kemudian OPD lain menyangkut irigasi dan limbah serta Lalin.
Kalau Dinas Pertanian melihat dan mengkaji dulu lahan tersebut, layak atau tidak diberikan izin. Apakah termasuk hamparan, hasil produksinya bagus atau tidak, berapa kali tanam dan apakah lahan itu jauh atau tidak dengan jalan umum. “Kalau tidak layak maka kami tidak akan berikan,” ujarnya. Pihaknya pun menggunakan skor dari tim teknis di masing-masing item yang dikaji tersebut. Dimana tim teknis akan turun ke lapangan melakukan survei, kemudian dibuatkan kajiannya bukan rekomendasi. Pihaknya tidak berhak memberikan rekomendasi, sebab rekomendasi itu dikhawatirkan di salah gunakan untuk menjadi dasar membangun.
Hasil kajian masing-masing OPD dibahas bersama untuk menentukan boleh tidak direkomendasikan untuk dibangun. Pihaknya sangat berharap para pengembang tidak terkonsentrasi membangun di kota atau perbatasan kota. Namun di tempat yang jauh-jauh juga. Soal penggantian lahan yang terpakai untuk pembangunan, apakah harus diganti? Menurutnya kalau sudah ada aturan LSD, tentu harus ada penggantian. Lahan yang dipakai di zona kuning, dipersyaratkan boleh dibangun asalkan mengganti lahan tersebut sesuai dengan aturan.
“Rencananya kami akan buat begitu, sebab aturannya di UU nomor 41 tahun 2009, kalau menggunakan lahan irigasi maka harus diganti tiga kali lipat dari itu,” tegasnya. Kemungkinan dengan begitu pengembang akan lebih berpikir membangun di lahan subur. Langkah ini harus dilakukan mengingat ketahanan pangan di dalam daerah perlu diamankan. Sebab kalau ketahanan pangan terganggu maka statbilitas nasional pun terganggu. (her)