Mataram (ekbisntb.com)- Hingga menjelang berakhirnya tahun 2025, Surat Keputusan (SK) Gubernur Nusa Tenggara Barat tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 belum juga diterbitkan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan dunia usaha, khususnya perusahaan jasa pengamanan dan alih daya, karena menghambat penyusunan perencanaan anggaran dan berpotensi merugikan pekerja.
Ketua Asosiasi Badan Usaha Jasa Pengamanan Indonesia (ABUJAPI) NTB, Iwan Balukea menilai, keterlambatan penetapan UMP 2026 menyulitkan pengusaha dalam menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk tahun berikutnya. Menurutnya, kepastian upah minimum biasanya menjadi acuan utama dalam perencanaan pengupahan.
“Sudah akan berakhir tahun 2025, tetapi SK Gubernur tentang UMP 2026 belum juga terbit. Padahal, pengusaha membutuhkan kepastian ini untuk menyusun RAB tahun depan,” ujar Iwan.
Ia menjelaskan, biasanya perencanaan pengupahan di perusahaan umumnya mulai dilakukan pada Desember, atau paling lambat setelah SK Gubernur tentang UMP diterbitkan. UMP dan UMK tidak hanya menjadi dasar penentuan upah pekerja, tetapi juga memengaruhi berbagai komponen ketenagakerjaan lainnya.
“UMP dan UMK menjadi dasar pengenaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dasar perhitungan THR, pesangon masa kerja, hingga cost structure yang kami tawarkan kepada pengguna jasa,” jelasnya.
Selain itu, Iwan menyoroti dampak keterlambatan UMP 2026 terhadap proses penawaran harga, khususnya pada sistem e-katalog. Hingga saat ini, harga yang tercantum dalam e-katalog masih menggunakan perhitungan UMP 2025.
“UMP juga menjadi dasar penawaran harga di e-katalog. Kalau UMP 2026 belum ditetapkan, maka harga yang digunakan masih UMP 2025,” katanya.
Ia mengkhawatirkan, keterlambatan tersebut berpotensi menyebabkan banyak kontrak kerja tenaga alih daya ditandatangani dengan menggunakan UMP 2025. Akibatnya, pekerja berisiko tidak menerima upah sesuai ketentuan UMP 2026 ketika sudah berlaku.
“Yang kami takutkan, kontrak-kontrak kerja ditandatangani dengan dasar UMP 2025, sehingga pekerja tidak mendapatkan hak UMP 2026,” tegasnya.
ABUJAPI berharap pemerintah pusat dan daerah dapat segera menerbitkan regulasi yang menjadi dasar penetapan UMP 2026 agar dunia usaha memiliki kepastian hukum, sekaligus menjamin perlindungan hak-hak pekerja, khususnya di Nusa Tenggara Barat.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) NTB, H. Muslim, ST., M.Si, menjelaskan bahwa hingga kini pemerintah daerah masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat.
“Belum, masih menunggu petunjuk pelaksanaan dari pusat karena Peraturan Pemerintah (PP)-nya belum keluar,” jelas Muslim.(bul)






