Awal tahun 2025, harga cabai di NTB melonjak tajam. Namun, awal tahun 2025. Harga cabai semakin pedas. Kondisi ini selalu menjadi fenomena tahunan. Sejumlah kebijakan atau program dicanangkan dalam mengatasi cabai. Namun, bukannya teratasi. Saat tertentu, khususnya pada awal musim hujan, harga cabai melonjak naik. Tidak hanya itu, harga cabai turun drastis dan petani memilih membiarkan cabai di pohonnya daripada menjual ke pasaran. Hal ini selalu berulang dan menjadi masalah tahunan yang belum ada solusi.
BAGI yang sering berbelanja ke pasar, melakukan penawaran terhadap harga kebutuhan pokok, terutama cabai adalah hal yang lumrah. Bahkan, melakukan penawaran dengan serendah-rendahnya harga. Bagaimana tidak, cabai yang merupakan salah satu kebutuhan yang paling pokok ini harus ada di setiap memasak di dapur. Belum lagi, petani yang dihadapkan dengan tantangan cuaca ekstrem (intensitas hujan tinggi) menjadi salah satu penyebab naiknya harga cabai di tingkat petani.

Sebagai contoh, harga cabai di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) saat ini sudah menembus Rp 100 ribu per kilogram (kg). Meroketnya harga cabai ini dinilai sejumlah petani sangatlah wajar di tengah kondisi musim hujan. Pasalnya, petani membutuhkan biaya besar untuk merawat cabainya agar bisa selamat dari guyuran hujan.
Amaq Fahri petani cabai di Desa Tirtanadi menilai di satu sisi cukup sumringah dengan lompatan harga cabai sebulan terakhir ini. Akan tetapi di sisi lain, kondisi cuaca yang cukup ekstrem membuat tanaman cabai butuh perlakuan lebih agar bisa selamat.
Diakui, tantangan terberat tanaman hortikultura termasuk cabai adalah guyuran hujan yang terlalu sering. Hal inilah yang membuat banyak petani justru tidak dapat apa-apa karena cabai tidak bisa berkembang dengan baik. Ketika tanaman cabai mulai berbunga, kemudian diterpa hujan maka diyakini tidak akan bisa terselamatkan.
Seperti dialami oleh Amaq Ani, petani cabai di Subak Kendang Mudung Kecamatan Pringgabaya. Ia justru tidak bisa menikmati harga mahal, karena cabainya banyak yang membusuk sebelum matang dan panen.
Banyak juga tanaman cabai yang mati karena cuaca dingin. Amaq Ani mengaku tidak bisa menyelamatkan tanaman cabainya, karena terlambat memberikan featisida sebagai pelindung dan pengaturan drainase.
Diakuinya, petani yang menaman hortikultura di tengah musim hujan lebat sebulan terakhir ini memang. harus berbekal keberanian berspekulasi. Pasalnya, biaya perawatan yang dilakukan memang cukup ekstra dibandingkan dengan musim lainnya. Seperti pemberian obat-obatan pada tanaman yang memang dikhususkan sebagai pelindung tanaman.
Harga obat-obatan mulai dari featisida, fungisida, herbisida dan bahan pupuk lainnya tidak ada yang murah. “Sekarang semua serba mahal, satu botol obat-obatan ini ada yang Rp 500 ribu,” akunya.
Champion Cabai, H. Subhan, menyampaikan produksi cabai saat ini menghadapi tantangan besar akibat cuaca ekstrem (intensitas hujan tinggi). Mestinya, saat ini sudah memasuki musim panen raya pada minggu pertama dan kedua Februari 2025. Intensitas hujan yang tinggi disertai angin kencang menyebabkan tanaman cabai banyak yang layu dan mati.
“Cuaca ekstrem setiap hari dengan hujan dan angin menyebabkan tanaman cabai terendam air. Jika terendam selama dua hari saja, cabai sudah layu, apalagi jika berminggu-minggu,” ujar H. Subhan.
Menurutnya, sekitar 10 persen tanaman cabai petani masih tersisa akibat kondisi ini. Untuk mengatasi situasi tersebut, para petani mulai melakukan tanam ulang menggunakan bibit hibrida.
“Kami menggunakan bibit hibrida yang cepat berbuah. Dengan usia tanam 2,5 bulan, bibit ini sudah bisa dipanen, berbeda dengan cabai biasa yang membutuhkan waktu hingga 4-5 bulan baru bisa panen,” jelasnya.
Langkah ini diambil untuk mengantisipasi kebutuhan cabai menjelang bulan puasa Ramadhan hingga lebaran. H. Subhan juga menyampaikan tingginya harga cabai saat ini, yang mencapai Rp75.000 per kilogram di tingkat petani. Akibat produksi cabai yang tidak maksimal.
Untuk membantu masyarakat, H. Subhan mengatakan rutin mengadakan bazar yang menyediakan 800 hingga 1.000 paket cabai setiap hari di Kabupaten Lombok Timur.
“Setiap paket berisi seperempat kilogram cabai, dan ini kami lakukan untuk mencegah pihak-pihak yang membeli dalam jumlah besar lalu menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi,” tambahnya.
Ia menegaskan tingginya harga cabai bukan disebabkan oleh distribusi hasil panen ke luar daerah, melainkan semata-mata akibat faktor cuaca.
“Kami juga telah mengusulkan kepada pemerintah agar manajemen produksi cabai dilakukan dengan teknologi green house,” ungkapnya.
Dengan teknologi ini, risiko kerugian akibat cuaca ekstrem dapat diminimalkan. “Teknologi green house akan menjadi lebih terjangkau jika pemerintah turun tangan,” pungkasnya.
Pengiriman Dihentikan Sementara
Kabupaten Lotim diketahui merupakan sentra produksi cabai nasional, ungkapnya, dirinya sering mengirim cabai keluar daerah. Akan tetapi, semenjak terjadi lonjakan harga ia diminta setop sementara pengiriman keluar daerah. Seperti pengiriman biasa dilakukan ke Pasar Kramat Jati Jakarta untuk sementara ini dihentikan dulu. “Kita selamatkan dulu daerah masing-masing,” ucap H. Subhan.
Dilihat dari kapasitas produksi di Kabupaten Lotim sampai saat ini masih cukup terpenuhi. Hanya saja, harganya disebut memang cukup mahal.
H. Subhan memprediksi, harga cabai ini akan mahal sampai Idul Fitri ke depan. Diketahui, puasa Ramadhan. Lonjakan harga cabai ini katanya terjadi secara nasional. Pasar-pasar di Jakarta dan daerah serta kota besar lainnya di Pulau Jawa harga cabai sudah menembus Rp 120 ribu per kg.
Champion Cabai Lotim turut melakukan upaya stabilitasi harga cabai ini bekerjasama dengan Tim Penanggulangan Inflasi Daerah (TPID). Telah digelar beberapa kali operasi pasar dengan menjual cabai di dalamnya. Operasi pasar ini akan digelar sampai tanggal 19 Januari 2025 mendatang.
Harga jual cabai dari giat operasi pasar ini katanya relatif lebih murah, yakni dari harga Rp 60-75 ribu per kg. Harga ini sudah jauh lebih murah dibandingkan harga pasar. Apalagi harga jual di tengah petani sekarang juga terus naik. Akibat lonjakan harga cabai ini, tidak jarang petani terpaksa juga menunggu cabainya di tengah ladang karena takut kecurian. “Namanya barang mahal, diincar banyak orang,” ungkapnya. (bul/rus)