Bima (ekbisntb.com) – Pabrik garam yang berlokasi di Desa Donggobolo, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima sudah mulai beroperasi sejak Maret 2025. Kehadirannya tidak hanya menjadi mesin produksi, tetapi juga peluang baru bagi petani. Pabrik ini menyerap sebagian garam krosok lokal, mengolahnya menjadi produk garam halus, sekaligus membuka akses pasar ke luar daerah.

Kepala Bidang (Kabid) Kelembagaan dan Investasi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bima, Irmalashari menyebut kapasitas produksi pabrik mencapai 200 ton garam halus per bulan, atau sekitar 2.400 ton per tahun. Untuk menghasilkan itu, pabrik membutuhkan kurang lebih 4.000 ton garam krosok dari petani.

“Garam yang masuk ke pabrik adalah garam krosok dari petani. Di pabrik, garam itu dicuci, digerus, dan dihaluskan menggunakan mesin, lalu menjadi garam halus. Produk akhirnya bisa berupa garam konsumsi maupun garam industri,” jelasnya saat ditemui pekan kemarin.
Menurutnya, tidak semua garam petani bisa diterima. Garam terbagi dalam tiga kategori, yaitu K1, K2, dan K3. “Yang bisa diterima pabrik adalah K1 dan sebagian K2. Garam K3 sulit diolah, hasil lab menunjukkan kadar NaCl-nya tidak memenuhi syarat industri,” katanya.
Untuk meningkatkan kualitas, DKP menyiapkan rencana sosialisasi dan edukasi bagi petani. Pihaknya juga berencana membagikan baume meter agar petani bisa mengukur kadar air laut secara mandiri. Dengan begitu, hasil panen lebih sesuai kebutuhan pabrik.
Irma menambahkan, insentif harga akan diberikan kepada petani yang menghasilkan garam berkualitas. “Kalau harga garam biasa misalnya Rp30 ribu per karung, maka garam berkualitas bagus bisa kami hargai Rp35 ribu,” ujarnya. Perbedaan harga ini menjadi dorongan agar petani lebih serius meningkatkan mutu.
Selain membantu petani, pabrik juga mulai mengembangkan pasar. Irma menyebut pemasaran produk tergantung permintaan. Pasar utama adalah Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Badan Karya Sejahtera (BKS). Di sana kemudian menambahkan yodium untuk distribusi ke ASN di lingkup Pemerintah Kabupaten Bima. Namun, pengiriman ke luar daerah juga sudah berlangsung.
“Misalnya, ke Manado kemarin dikirim 21 ton garam, dan ke Makassar 5 ton setiap 2 hingga 3 minggu sekali. Itu semua garam yang sudah digerus di pabrik,” ungkapnya.
Selain Manado dan Makassar, produk garam Bima juga sudah dikirim ke Surabaya dan Sidoarjo. Jangkauan pasar ini membuktikan produk lokal memiliki daya saing di luar daerah.
Dengan kapasitas besar, standar mutu, dan pasar yang terus berkembang, pabrik garam Bima diharapkan mampu menjaga stabilitas harga di tingkat petani. “Kami berharap pabrik bisa membantu menstabilkan harga garam di tingkat petani, sekaligus menghadirkan produk akhir asli Bima,” tutur Irma.
Pabrik garam kini menjadi simbol harapan baru. Di satu sisi, petani mendapat insentif dan dorongan untuk meningkatkan kualitas. Di sisi lain, Bima punya produk industri yang sudah menembus pasar luar daerah. Dengan kolaborasi yang baik, garam Bima berpeluang semakin dikenal di tingkat nasional. (hir)