Lombok (ekbisntb.com) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi year on year (y-on-y) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Agustus 2025 sebesar 2,56 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 108,48. Dengan capaian tersebut, NTB berada di posisi ke-17 nasional dan masuk kategori merah dalam pemeringkatan inflasi antarprovinsi oleh Kementerian Dalam Negeri.

Setidaknya ada 19 daerah di Indonesia yang dikategorikan inflasinya merah. Dari yang tertinggi, Sumut, Sulteng, Papua Selatan, Sultra, Papua Pegunungan, Aceh, Riau,Sulbar, Maluku, Sulsel, Sumsel,Sumbar, Jambi, NTT, Kalsel, Bali, NTB, Gorontalo, dan Jateng.

Sementara provinsi dengan inflasi hijau diantaranya, DIY, Kaltara, Kepri, Jatim, DKI Jakarta, Kalbar, Kalteng, Banten, Papua Tengah, Kaltim, Jabar, Babel, Bengkulu, Lampung, Sulut, Papua, Maluku Utara, dan provinsi satu-satunya di Indonesia yang justru mengalami deflasi adalah Papua Barat.
Berdasarkan data BPS, inflasi di NTB terjadi karena adanya kenaikan harga pada sejumlah kelompok pengeluaran. Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya menjadi penyumbang inflasi tertinggi dengan kenaikan 11,86 persen. Disusul oleh kelompok pendidikan sebesar 4,92 persen, kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 3,62 persen, serta kelompok kesehatan yang naik 1,86 persen.
Selain itu, inflasi juga dipicu kenaikan harga pada kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 1,57 persen, kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,49 persen, kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 1,24 persen, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,77 persen, serta kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,14 persen.
Di sisi lain, terdapat kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yakni kelompok transportasi sebesar 0,07 persen, serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang turun 0,5 persen.
Meski demikian, inflasi NTB masih tergolong aman karena berada dalam rentang target inflasi nasional 2025, yakni 2,5 persen ± 1 persen. Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi NTB, Andhi Wahyu, menegaskan bahwa kondisi inflasi di daerah tetap terkendali.
“Angka 2,56 persen itu masih on target. Jadi masih aman, semoga sampai akhir tahun kita tetap berada dalam rentang sasaran inflasi nasional,” ujar Andhi di Mataram, Senin 1 September 2025.
Meski NTB masuk kategori merah dalam peta inflasi nasional, Andhi menegaskan bahwa hal itu lebih kepada klasifikasi peringkat semata.
“Merah itu karena diurutkan saja dari tinggi ke rendah, apalagi NTB tidak masuk 10 besar provinsi dengan inflasi tertinggi. Jadi kondisi sebenarnya masih terkendali,” jelasnya.
Menurutnya, penting bagi pemerintah daerah bersama TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) untuk menjaga agar tekanan inflasi tetap stabil hingga akhir tahun. Apalagi NTB akan menghadapi momentum penting, yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang biasanya mendorong kenaikan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Antisipasi Lonjakan Kebutuhan Saat Maulid Nabi
Andhi mengingatkan bahwa distribusi bahan pangan strategis harus menjadi perhatian serius. “Menghadapi Maulid Nabi, kita harus memastikan kelancaran distribusi komoditas pangan strategis ke seluruh kabupaten/kota. Termasuk distribusi beras SPHP dan efektivitas Gerakan Pangan Murah (GPM), mengingat tren kebutuhan meningkat seiring peringatan tersebut,” katanya.
Gerakan Pangan Murah (GPM) selama ini menjadi instrumen penting dalam menekan gejolak harga bahan pokok, terutama beras, cabai, dan bawang merah yang kerap menjadi penyumbang inflasi. Dengan pasokan yang terjaga, harga diharapkan tetap stabil meski permintaan naik.
Inflasi sebagai Indikator Ekonomi Daerah
Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam melihat kestabilan ekonomi daerah. Inflasi yang terkendali menandakan daya beli masyarakat tetap terjaga dan aktivitas ekonomi berjalan normal. Sebaliknya, inflasi yang terlalu tinggi berpotensi menekan konsumsi rumah tangga, sementara inflasi yang terlalu rendah bisa menjadi indikasi lesunya permintaan.
Bagi NTB, inflasi yang stabil juga sangat penting untuk menjaga iklim investasi dan keberlanjutan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
“Kalau inflasi terkendali, wisatawan merasa nyaman karena harga-harga relatif stabil. Ini juga akan memberi dampak positif bagi UMKM lokal,” tambah Andhi.(bul)