spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaBerandaOpini : Krisis Kepemimpinan, Pajak, dan Ancaman Stabilitas Nasional

Opini : Krisis Kepemimpinan, Pajak, dan Ancaman Stabilitas Nasional

Oleh:

Tody Ardiansyah Prabu (TAP) S.H

- Iklan -

Waketum DPP FABEM – SM (Forum Alumni Badan Eksekutf Mahasiswa & Senat Mahasiswa).

Ketum RIU – Rakyat Indonesia Unggul.

Prakitisi Advokat Hukum alumni Univ.Trisakti.

Pendiri / Wakil Ketua KAPMI Majelis Pertimbangan (Kamar Dagang Pengusaha Muda Indonesia).

Dalam perjalanan sejarah bangsa, kebijakan publik yang diambil oleh para pemimpin selalu meninggalkan jejak panjang terhadap kondisi sosial masyarakat. Namun, ketika keputusan-keputusan tersebut lebih banyak dilandasi sikap pragmatis dan instan tanpa pertimbangan mendalam, maka yang muncul justru gejolak di akar rumput.

Kenaikan pajak, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang langsung bersentuhan dengan rakyat kecil, menjadi salah satu contoh kebijakan yang menimbulkan keresahan efek domino menimbulkan gejolak kemarahan aksi di akar rumput masyarakat. Alih-alih memberi solusi, beban pajak yang terus bertambah justru memperdalam kesenjangan sosial. Ditambah lagi dengan isu kenaikan iuran BPJS, lapangan pekerjaan yang sempit, Pengangguran yang luas, mahalnya biaya pendidikan, hingga akses kesehatan yang kian memberatkan, masyarakat semakin merasa ditinggalkan.

Padahal, berbagai laporan intelijen dan kajian akademik yang mestinya menjadi bahan pertimbangan kerap diabaikan. Keputusan publik dijalankan secara sepihak, seolah tanpa ruang dialog, sehingga wajar jika akhirnya menimbulkan apa yang disebut sebagai efek bola salju gejolak sosial. Retret pejabat maupun lembaga pendidikan strategis seperti Lemhanas yang diharapkan melahirkan negarawan berkarakter pro-rakyat, justru dianggap belum berhasil menjawab kebutuhan bangsa. Hanya sekedar sermonial pemborosan anggaran semata tanpa ada hasilnya nyata dalam kebijakan yg negarawan untuk keberpihakan kesejahteraan kepada rakyat.

*Krisis Kepemimpinan dan Sense of Crisis :*

Pertanyaan besar muncul: di manakah sense of crisis para pemegang kebijakan? Di tengah rakyat yang kesulitan mencari pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali, serta ancaman kelaparan di berbagai wilayah, pejabat publik mestinya mengedepankan empati dan kebijakan berbasis kepentingan nasional, bukan kepentingan kelompok.

Seorang pemimpin sejati tidak hanya mengumpulkan pengikut atau follower, tetapi mampu melahirkan generasi penerus yang lebih hebat darinya. Sejarah mencatat bagaimana Raja Hayam Wuruk berhasil melahirkan Mahapati Gajah Mada sebagai figur tangguh yang membawa Majapahit menuju kejayaan dan persatuan nusantara menjadi suatu kekuatan kerakyatan. Sayangnya, pelajaran penting dari sejarah tersebut sering kali diabaikan dan para pemimpin kekinian tidak mau belajar dari sejarah.

*Korupsi: Antara Kesempatan dan Hedonisme*

Selain problem kebijakan, bangsa ini juga terus dirongrong oleh praktik korupsi. Korupsi terjadi karena adanya kesempatan dan penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri. Hedonisme dan Flexing perpaduan gaya hidup yang Wah ! menjadi salah satu faktor yang mendorong pejabat maupun birokrat melanggar etika dan hukum.

Ironisnya, meski korupsi merusak sendi-sendi negara, hukuman bagi koruptor sering kali tidak setegas bagi pelaku kejahatan lain seperti terorisme atau narapidana bandar narkotika. Publik menilai banyak narapidana korupsi justru diduga menjalani masa tahanan dengan fasilitas mewah, bahkan diduga bisa keluar-masuk dengan alasan kesehatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan hukum. Perlu ada evaluasi / revisi SOP aturan perundangan lapas yg tegas terhadap narapidana para Koruptor.

Tidak sedikit kalangan yang menuntut adanya hukuman lebih tegas, termasuk opsi hukuman mati bagi pelaku korupsi kelas berat yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Sebab, dampak korupsi sejatinya tidak kalah berbahaya dibanding ancaman terorisme—korupsi menghancurkan moral bangsa, memperlebar kesenjangan sosial, merusak ekonomi bangsa dan melemahkan fondasi negara. Perlu adanya evaluasi Revisi UU Tipikor dalam penerapan Hukuman Mati yang tegas dan Mendorong segera pengesahan RUU Peramapasan Aset menjadi Efek Cambuk / Efek Jera bagi Para Koruptor dan Efek Takut bagi yang ingin korupsi.

*Menatap NKRI Ke Depan*

Bangsa ini membutuhkan pemimpin berjiwa negarawan yang mampu merasakan denyut nadi rakyat, bukan sekadar menjalankan kekuasaan. Pemimpin yang berani mengambil keputusan strategis dengan pertimbangan matang, berpihak pada kepentingan nasional, mau berdialog turun mendengarkan aspirasi di serap dari mahasiswa seluruh element masyarakat serta Pemimpin tegas menolak kompromi terhadap korupsi & Tidak Konflik Interest dalam kepentingan pribadi baik Bisnisnya.

Sebagaimana sejarah telah menunjukkan, hanya pemimpin dengan visi besar dan kemampuan melahirkan kader tangguh yang dapat membawa bangsa keluar dari krisis menuju kejayaan.

Garis Besarnya Kesimpulannya adalah Seorang pemimpin Hebat mesti melahirkan Kaderisasi yang Hebat bukan sekedar melahirkan Pengikut yang Banyak.

Pemimpin Negara kekinian sekarang perlu seorang Mahapatih yang tangguh dan kuat dalam menjalankan keputuhan kebijakan yang keberpihakan pada rakyat yang mana keputusan penuh dengan hati jernih dan rasa.Disinilah kepincangan kelemahan kepemimpinan sekarang tidak memiliki Mahapatih yang kuat.

Pemimpin itu memastikan setiap kebijakan yang di putuskan Menjamin Stabilitas Nasional dan Kepastian menjamin demokratisasi berjalan dengan sehat, terukur, tersistemik di dan dari akar rumput ( Grassroots democracy ).

Semoga damai terjadi di Negeri Indonesia. Pemimpin bisa sinergi harmonisasi dengan rakyat memperkuat keutuhan persatuan kesatuan bangsa negara dan menata sendi kehidupan bersama – sama dalam peta jalan NKRI masa depan lebih baik mewujudkan negara Digdaya 2045.(bul)

Artikel Yang Relevan

Iklan












Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut