Lombok (ekbisntb.com) – Usai dipaksa oleh massa unjuk rasa untuk menutup Terminal Khusus (Tersus) Ponton di Dusun Tampes, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, proyek penataan Gili Meno bernilai Rp 70 miliar lebih masih mengundang pertanyaan.

Salah satunya, komitmen pihak pelaksana untuk mengedepankan restorasi terumbu karang di perairan Gili Meno, serta desakan kepada DPRD agar buruh, sopir lokal di Kabupaten Lombok Utara (KLU) dilibatkan dalam proses angkut material.

Wakil Ketua DPRD KLU, Karyasa, S.Pd.H., Selasa 2 September 2025 mengungkapkan, aspirasi publik ibarat suara tertinggi dalam proses demokrasi dan pembangunan. Oleh karenanya, proyek Penataan Pantai Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, masih memerlukan komitmen keselarasan pembangunan dengan aspek ekonomi, sosial dan terselamatkannya lingkungan.
“Sampai saat ini, kami masih menunggu dokumen ANDAL (Analisis dan Dampak Lingkungan), di samping, RKL (rencana pengelolaan lingkungan) dan SKL untuk memastikan agar pekerjaan sesuai amanat perundang-undangan,” ujar Karyasa.
Ia menjelaskan, Pemda KLU tentu menghadapi dilema setelah Tersus Tampes ditutup. Kendati, solusi pengangkutan masih memiliki opsi dengan memanfaatkan akses pelabuhan resmi yang dikelola Pemprov NTB, baik Pelabuhan Carik, maupun Pelabuhan Bangsal.
Karyasa menjelaskan, dalam proyek penataan Pantai Gili Tramena, pihaknya mendapat informasi jika bentang pemeliharaan pantai bervariasi, masing-masing, 660 meter di Gili Trawangan, 1.660 meter di Gili Meno dan 460 meter di Gili Air.
Dirinya menyebut, proyek pusat ini memiliki dampak strategis bagi keberlangsungan lingkungan khususnya pengamanan pantai Gili Tramena. Pasalnya, garis pantai bagian utara Gili Trawangan mengalami kemunduran hingga 4 meter per tahun, bagian timur Gili Meno mengalami kemunduran 2 meter per tahun, dan garis pantai Gili Air bagian selatan mundur 2 meter per tahun.
Secara total, kata dia, catatan instansi teknis menunjukkan perubahan garis pantai yang sangat signifikan. Dimana, garis pantai Gili Trawangan mundur sejauh 30-35 meter sejak 2011-2021. Pada periode yang sama, garis pantai Gili Meno mundur sejauh 20-25 meter, dan garis pantai Gili Air mundur sejauh 15-25 meter.
“Berdasarkan analisa lingkungan, perubahan garis pantai dipicu oleh sebab yang berbeda, dari pembangunan properti dengan infrastruktur yang keras dan akibat gelombang,” tambahnya.
Dampak pembangunan properti yang menimbulkan kemunduran garis pantai, Karyasa meminta eksekutif Pemda Lombok Utara untuk lebih aktif mengawasi pelaksanaan properti agar tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. “Kami di DPRD juga akan mulai berbenah, lebih aktif melakukan pengawasan pada proyek fisik dan non fisik,” tambahnya.
Lebih lanjut, Karyasa berharap BKKPN Kupang selaku perwakilan Kementerian Kelautan Perikanan di NTB, untuk ikut memberikan masukan apabila terdapat pelanggaran lingkungan selama proses pengerjaan proyek penataan Pantai Gili Tramena.
“Misalnya, jangan sampai tongkang proyek tambat di laut dangkal sehingga memunculkan dampak pada kerusakan terumbu karang. Kita juga merasa perlu membuat Pakta Integritas agar pelaksana proyek betul-betul melakukan amanat AMDAL, yakni restorasi terumbu karang pascapengerjaan proyek,” tandasnya. (ari)